CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Rabu, 19 November 2008

MURAL

Ketimbang program-program city beautification penuh slogan dalam komunikasi satu arah seperti banyak terjadi di kota-kota Indonesia, penciptaan mural di ruang publik terasa lebih efektif meningkatkan partisipasi aktif masyarakat dalam upaya merancang visual kota berkualitas.
Yogyakarta Kota Mural. Kesan itu kuat melekat di Kota Gudeg yang telah melanggengkan kreasi mural di dinding-dinding sekujur kota dengan berpegang pada nilai sosial dan estetika setempat. Gerakan ini menjadi fenomena. Di sana ada pengakuan pemerintah kota dan keterlibatan segenap masyarakat dari kalangan seniman, anak sekolah, warga kampung hingga para pengamen kota. Inisiatif mereka membawa mural dari sekedar “seni lukis jalanan” hingga menjadi satu model kreatifitas yang mempercantik kota.
Seperti telah dijelaskan oleh Ir. Ikaputra, M Eng, Ph D dan Dyah Titisari Widyastuti, ST, MUDD dalam makalah Penciptaan Mural pada Ruang Publik Kota yang Berbasis Budaya dan Partisipasi Masyarakat: Studi Kasus Yogyakarta. Dari 30 titik penyebaran mural di kota Yogakarta, mural pertama yang mengawali gerakkan city beautification community participatory di Yogyakarta pada 1997 terdapat di kawasan Keraton dan Malioboro. Berlanjut terus hingga 2003 di lokasi-lokasi pinggir kota seperti Jalan Solo dan Parangtritis. Kawasan Keraton dan Malioboro sebagai start aksi, karena kedekatannya dengan tempat berkumpulnya komunitas seniman Apotik Komik pimpinan Samuel Indratma, sebagai penggagas gerakan.

Citra Estetika dari Masyarakat
Sebagai “seni jalanan”, mural bukan ditangkal malah digemari. Terbukti dari luasnya area penyebaran mural di Yogyakarta hingga area-area komersial, sekitar sarana pendidikan, perumahan, gang-gang kampung bahkan pada kolom-kolom dan bidang penyangga fly over. Tak heran bila seni mural telah memberi citra estetika tersendiri bagi wajah kota gudeg ini. Karena di samping proses legal yang dilalui para perupa mural lewat izin pemilik dinding atau pemerintah, ditambah adanya bentuk-bentuk kompromi dan jaminan kualitas karya dari para senimannya.
Cepat dan meluasnya gerakan ini juga akibat munculnya kesadaran akan manfaat pembelajaran melalui pesan-pesan sosial mural, seperti pesan anti narkoba, anti korupsi, atau kesenjangan sosial. Warga terasa menikmati peran serta nyata mereka atas upaya memperindah lingkungan, seraya mengekspresikan diri lewat pesan yang mereka sampaikan.

Alternatif Penataan Wajah Kota

Mural, seperti halnya graffiti, menggunakan dinding-dinding luar sebagai media atau kanvas ekspresi. Kesengajaan ini dilakukan untuk mengekspos karya ke publik seluas mungkin. Untuk tujuan itu umumnya kategori lokasi yang dipilih adalah tempat yang dianggap penting dan dikenal publik, mudah dilihat orang sambil lalu, atau mudah ditemui (diakses) di mana-mana. Namun berbeda dengan graffiti yang berisi tulisan atau tanda yang kurang jelas karena biasanya berupa pesan eksistensial anak muda kota belaka, karya mural cenderung merupakan karya kolase yang menggambarkan orang, tempat, dan kata-kata yang jelas mengungkap isu-isu yang berkembang luas di masyarakat.
Sebagai karya, mural menjadi alternatif penataan wajah kota yang terbilang berseberangan dengan tren penataan kota-kota modern yang mengutamakan indah dengan tampilan yang bersih. Dalam perkembangan kota-kota di dunia, mural seperti halnya graffiti, kental dengan asosiasi kota kumuh, representasi ketidakteraturan, mengurangi rasa aman, rentan kriminalitas, dan pada akhirnya memperlambat pertumbuhan ekonomi kawasan kota bersangkutan. Namun di sisi lain, akibat orientasi pertumbuhan ekonomi juga, pergerakan ide komersialisme kota—lewat pemasangan billboard dan bentuk-bentuk iklan lainnya—nampak mendominasi di tiap sudut kota. Hal ini pada akhirnya juga memunculkan ketidakteraturan dalam bentuk lain. Bahkan menjauhkan masyarakat dari rasa kepemilikan ruang kotanya.
Di Yogyakarta mural terbukti hadir dalam proses penciptaan yang efektif melibatkan warga kota. Warga tergugah untuk bersama memformat wajah kota dalam estetika dan tema-tema sosial mereka. Dinding-dinding kota yang dulunya kosong, kusam, penuh coretan, kolong-kolong jembatan layang yang penuh sampah, kini menjadi lebih cantik dan menarik dilihat. Masyarakat menjadi pelaku nyata atas kotanya yang indah. (Rozak)

0 komentar: